Satu elemen yang sangat diperhitungan masyarakat nampaknya masih dikalungi oleh kalangan mahasiswa, komunitas dengan semangat membara yang menjadi bagian dari catatan sejarah. Kaum intelektual yang bergelut dengan ilmu pengetahuan dan memberikan perubahan yang lebih baik dengan intelektualitas yang dimiliki, menjadi tombak perubahan, terkenal dengan jiwa patriotnya, pengorbanan tanpa pamrih, totalitas perjuangan, mampu merobohkan otoritas, ketidakadilan, kebohongan, penindasan, serta oposisi pemerintahan yang paling independen.
Sejarah Indonesia mencatat eksistensi peran mahasiswa dengan idealismenya dalam kemerdekaan bangsa Indonesia mampu mendorong terbentuknya gerakan – gerakan serta organisasi kemahasiswaan untuk melakukan tindakan transformatif.. Peristiwa kebangkitan nasional, sumpah pemuda, proklamasi, kemerdekaan Indonesia, reformasi pada tahun 1998 tidak pernah terlepas dari gagasan dan gerakan para pemuda Indonesia terutama mahasiswa. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk upaya menyelesaikan krisis yang terjadi di masyarakat. Kemampuan menganalisis situasi sosial-politik, menjadi bekal mahasiswa melakukan gerakan perubahan. Perubahan sosial adalah fenomena kehidupan berjalan yang harus dikawal oleh pemuda Indonesia. Eksistensi pemuda terutama mahasiswa merupakan bahan bakar daripada sejarah itu sendiri. Aksi-aksi tersebut menjadi catatan sejarah yang kemudian selalu dikenang dan dipelajari oleh mahasiswa karena dianggap sebagai bentuk keberhasilan mahasiswa dalam membela kepentingan rakyat sebagai bentuk tanggungjawab moral. Semuanya melekat pada mahasiswa yang memiliki predikat sebagai agent of change dan control social.
Mahasiswa mengemban tugas yang sangat mulia dan menjadi harapan besar bagi masyarakat. Namun, sepertinya saat ini semua itu hanya menjadi mimpi yang tidak berwujud. Bagaimana tidak? Ketika puluhan mahasiswa yang masih peduli dengan nasib akan masa depan negeri ini turun kejalan untuk mengusahakan aspirasi rakyat, seribu mahasiswa lainnya dengan asyik menonton pria cantik yang dikemas menjadi superhero yang sempurna.
Perlu diketahui sekarang mahasiswa telah dirasuki oleh budaya apatis. Apatisme adalah ketika para pemuda bangsa Indonesia terlena dengan kenikmatan semu yang ditawarkan dunia, mereka dengan santai berjalan tanpa beban, acuh tak acuh terhadap lingkungan, kebijakan, dan bangsa. Lalu apa hubungannya antara sikap apatis dengan mahasiswa? Seperti yang kita ketahui mahasiswa menyandang berbagai tugas atau peran antara lain yaitu agent of chance, control social, dan kaum intelektual. Singkatnya adalah jika mahasiswa sudah menjadi apatis maka semua peran mahasiswa yang telah sebutkan diatas bisa lenyap dari jiwa mahasiswa.
Harapan pejuang terdahulu adalah kepedulian tanpa ujung untuk terus memperjuangkan terciptanya keadilan social, serta penghargan yang tinggi dari masyarakat kepada mahasiswa nampaknya memberikan beban moral bagi mahasiswa. Pemahaman mahasiswa terhadap peran serta tanggungjawab moralnya terhadap masyarakat mengalami pergeseran.
Era teknologi dan globalisasi memberikan kemudahan – kemudahan yang mampu membuat terlena siapapun termasuk mahasiswa. Trend penggunaan teknologi, kemudahan mengakses informasi, dan persaingan ekonomi merubah orientasi mahasiswa kearah hidup yang hedonis dan kapitalis. Kesibukan mahasiswa berubah dari pemikiran terhadap realita serta konflik sosial yang ada menjadi kesibukan mengejar prestasi akademik tertinggi serta penghargaan orang lain. Memiliki IP tinggi menjadi cita – cita, memenangkan hadiah atau menjadi juara menjadi kebanggaan, dan menjadi lulusan terbaik serta mendapat kerja menjadi tujuan utama. Begitu besarnya pengaruh hedonisme serta kapitalisme mampu membuat mahasiswa kehilangan ‘jati dirinya’. Eksistensi mahasiswa kemudian diragukan.
Ketika suatu hari ada teriakan mengajak mahasiswa untuk turun kejalan ikut peduli terhadap permasalah biaya kuliah tunggal (UKT) yang tak kunjung usai, malah terdengar suara burung yang tidak mengenakan telinga yang ironisnya berasal dari kelompok mahasiswa sendiri. Realita hari ini adalah penyelesaian masalah yang dilakukan secara individu tanpa memperdulikan lagi nilai-nilai kolektivisme, “masalah mu, ya urus sendiri”, kata beberapa mahasiswa. Hari ini yang perlu kita khawatirkan bukan sekedar hadirnya masalah, akan tetapi bagaimana cara menyikapi masalah tersebut dengan kondisi pemuda yang lupa akan tanggungjawab moral dan kehilangan kesadaran akan jati diri mereka.
Dimana saat ini mahasiswa bisa dikatakan pada posisi stagnan, yang terjadi tanggungjawab moral yang dimiliki mahasiswa telah memudar, semacam ‘penyakit mematikan dan menular’ yang menggerogoti peran mahasiswa didalam masyarakat. Kejayaan mahasiswa dimasa lalu hanya sekedar menjadi nostalgia.
Hilangnya peran dan tanggungjawab moral mahasiswa kini menjadi luka mendalam yang sulit disembuhkan. Jika mahasiswa belum peka terhadap masalah yang ada, mahasiswa akan semakin kehilangan jati diri dan kehilangan peran dalam masyarakat.
Apakah kita termasuk mahasiswa apatis itu? Apakah kita termasuk mahasiswa yang lupa akan tanggungjawab moral? Apakah kita rela dikatakan begitu? atau memang demikian adanya sebagaimana yang terlihat?
Sekarang saatnya untuk menilai diri, apakah kita termasuk ke dalam bagian tersebut atau bukan. Sebagai Mahasiswa tentu saja kita tidak mau. Tentu saja kita masih cinta dan peduli akan negeri kita. Maka dari itu perlu adanya pola gerakan baru untuk membuat resolusi terhadap masalah yang dihadapi. Semangat serta idealisme pendahulu yang dimiliki wajib dipertahankan dan terus ditularkan pada setiap generasi. Perlu keberanian melepaskan diri dari ketergantungan. Semangat belajar, diskusi, organisasi serta kemampuan membangun jaringan diperlukan sehingga mampu membentuk mahasiswa yang memilki integritas. Ketika integrasi terbentuk, bukan suatu kemustahilan terjadi reformasi baru dalam hal peran mahasiswa bagi masyarakat serta peningkatan kesejahteraan bangsa melalui sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki moralitas tinggi. Marilah kita tunjukkan bahwa kita masih peduli akan negeri kita.
HIDUP MAHASISWA!
Sejarah Indonesia mencatat eksistensi peran mahasiswa dengan idealismenya dalam kemerdekaan bangsa Indonesia mampu mendorong terbentuknya gerakan – gerakan serta organisasi kemahasiswaan untuk melakukan tindakan transformatif.. Peristiwa kebangkitan nasional, sumpah pemuda, proklamasi, kemerdekaan Indonesia, reformasi pada tahun 1998 tidak pernah terlepas dari gagasan dan gerakan para pemuda Indonesia terutama mahasiswa. Tindakan ini dilakukan sebagai bentuk upaya menyelesaikan krisis yang terjadi di masyarakat. Kemampuan menganalisis situasi sosial-politik, menjadi bekal mahasiswa melakukan gerakan perubahan. Perubahan sosial adalah fenomena kehidupan berjalan yang harus dikawal oleh pemuda Indonesia. Eksistensi pemuda terutama mahasiswa merupakan bahan bakar daripada sejarah itu sendiri. Aksi-aksi tersebut menjadi catatan sejarah yang kemudian selalu dikenang dan dipelajari oleh mahasiswa karena dianggap sebagai bentuk keberhasilan mahasiswa dalam membela kepentingan rakyat sebagai bentuk tanggungjawab moral. Semuanya melekat pada mahasiswa yang memiliki predikat sebagai agent of change dan control social.
Mahasiswa mengemban tugas yang sangat mulia dan menjadi harapan besar bagi masyarakat. Namun, sepertinya saat ini semua itu hanya menjadi mimpi yang tidak berwujud. Bagaimana tidak? Ketika puluhan mahasiswa yang masih peduli dengan nasib akan masa depan negeri ini turun kejalan untuk mengusahakan aspirasi rakyat, seribu mahasiswa lainnya dengan asyik menonton pria cantik yang dikemas menjadi superhero yang sempurna.
Perlu diketahui sekarang mahasiswa telah dirasuki oleh budaya apatis. Apatisme adalah ketika para pemuda bangsa Indonesia terlena dengan kenikmatan semu yang ditawarkan dunia, mereka dengan santai berjalan tanpa beban, acuh tak acuh terhadap lingkungan, kebijakan, dan bangsa. Lalu apa hubungannya antara sikap apatis dengan mahasiswa? Seperti yang kita ketahui mahasiswa menyandang berbagai tugas atau peran antara lain yaitu agent of chance, control social, dan kaum intelektual. Singkatnya adalah jika mahasiswa sudah menjadi apatis maka semua peran mahasiswa yang telah sebutkan diatas bisa lenyap dari jiwa mahasiswa.
Harapan pejuang terdahulu adalah kepedulian tanpa ujung untuk terus memperjuangkan terciptanya keadilan social, serta penghargan yang tinggi dari masyarakat kepada mahasiswa nampaknya memberikan beban moral bagi mahasiswa. Pemahaman mahasiswa terhadap peran serta tanggungjawab moralnya terhadap masyarakat mengalami pergeseran.
Era teknologi dan globalisasi memberikan kemudahan – kemudahan yang mampu membuat terlena siapapun termasuk mahasiswa. Trend penggunaan teknologi, kemudahan mengakses informasi, dan persaingan ekonomi merubah orientasi mahasiswa kearah hidup yang hedonis dan kapitalis. Kesibukan mahasiswa berubah dari pemikiran terhadap realita serta konflik sosial yang ada menjadi kesibukan mengejar prestasi akademik tertinggi serta penghargaan orang lain. Memiliki IP tinggi menjadi cita – cita, memenangkan hadiah atau menjadi juara menjadi kebanggaan, dan menjadi lulusan terbaik serta mendapat kerja menjadi tujuan utama. Begitu besarnya pengaruh hedonisme serta kapitalisme mampu membuat mahasiswa kehilangan ‘jati dirinya’. Eksistensi mahasiswa kemudian diragukan.
Ketika suatu hari ada teriakan mengajak mahasiswa untuk turun kejalan ikut peduli terhadap permasalah biaya kuliah tunggal (UKT) yang tak kunjung usai, malah terdengar suara burung yang tidak mengenakan telinga yang ironisnya berasal dari kelompok mahasiswa sendiri. Realita hari ini adalah penyelesaian masalah yang dilakukan secara individu tanpa memperdulikan lagi nilai-nilai kolektivisme, “masalah mu, ya urus sendiri”, kata beberapa mahasiswa. Hari ini yang perlu kita khawatirkan bukan sekedar hadirnya masalah, akan tetapi bagaimana cara menyikapi masalah tersebut dengan kondisi pemuda yang lupa akan tanggungjawab moral dan kehilangan kesadaran akan jati diri mereka.
Dimana saat ini mahasiswa bisa dikatakan pada posisi stagnan, yang terjadi tanggungjawab moral yang dimiliki mahasiswa telah memudar, semacam ‘penyakit mematikan dan menular’ yang menggerogoti peran mahasiswa didalam masyarakat. Kejayaan mahasiswa dimasa lalu hanya sekedar menjadi nostalgia.
Hilangnya peran dan tanggungjawab moral mahasiswa kini menjadi luka mendalam yang sulit disembuhkan. Jika mahasiswa belum peka terhadap masalah yang ada, mahasiswa akan semakin kehilangan jati diri dan kehilangan peran dalam masyarakat.
Apakah kita termasuk mahasiswa apatis itu? Apakah kita termasuk mahasiswa yang lupa akan tanggungjawab moral? Apakah kita rela dikatakan begitu? atau memang demikian adanya sebagaimana yang terlihat?
Sekarang saatnya untuk menilai diri, apakah kita termasuk ke dalam bagian tersebut atau bukan. Sebagai Mahasiswa tentu saja kita tidak mau. Tentu saja kita masih cinta dan peduli akan negeri kita. Maka dari itu perlu adanya pola gerakan baru untuk membuat resolusi terhadap masalah yang dihadapi. Semangat serta idealisme pendahulu yang dimiliki wajib dipertahankan dan terus ditularkan pada setiap generasi. Perlu keberanian melepaskan diri dari ketergantungan. Semangat belajar, diskusi, organisasi serta kemampuan membangun jaringan diperlukan sehingga mampu membentuk mahasiswa yang memilki integritas. Ketika integrasi terbentuk, bukan suatu kemustahilan terjadi reformasi baru dalam hal peran mahasiswa bagi masyarakat serta peningkatan kesejahteraan bangsa melalui sumberdaya manusia yang berkualitas dan memiliki moralitas tinggi. Marilah kita tunjukkan bahwa kita masih peduli akan negeri kita.
HIDUP MAHASISWA!
Comments
Post a Comment